Rabu, 19 September 2012

Mengenal Stunting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti di negara-negara berkembang lain, stunting atau retardasi pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang badan sebesar -2Z atau lebih menurut baku rujukan pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS)] di Indonesia merupakan hal yang umum terjadi. Prevalensi stunting pada bayi dan anak-anak masih cukup tinggi sebagai akibat asupan gizi yang tidak adekuat.(1) Stunting adalah perawakan pendek yang timbul akibat malnutrisi yang lama. Stunting pada usia balita biasanya kurang disadari karena perbedaan dengan anak yang tinggi badannya normal tidak terlalu tampak. Stunting biasanya baru disadari setelah anak masuki usia pubertas atau remaja.(1) Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi stunting dari 36,7 persen pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada tahun 2010. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi balita stunting yaitu dari 18,0 persen tahun 2007 menjadi 17,1 persen tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita stunting berat hanya sedikit menurun yaitu dari 18,8 persen tahun 2007 menjadi 18,5 persen tahun 2010. Namun secara nasional prevalensi stunting untuk ketiga kelompok masih tinggi, yaitu di atas 30%, tertinggi pada kelompok anak 6-12 tahun (35,8%), dan terendah pada kelompok umur 16-18 tahun (31,2%). Hasil survei yang sama menunjukkan tingginya stunting yaitu 37 % pada balita. Ini berarti bahwa satu dari setiap tiga anak dalam kelompok usia balita lebih pendek dari ketinggian standar untuk usia mereka (risdaskes,2010). Menurut WHO 2010, Indosesia merupakan uratan kelima di dunia dengan jumlah stunting sebanyak 7,6 juta balita. Sedangkan menurut analisis Jean Baker pada tahun 2001 bahwa perkembangan stunting mempengaruhi 182 juta anak balita, dimana angka tertinggi ditemukan di Asia Selatan. Dan ini akan mengakibatkan kemunduran perkembangan motorik, kegagalan fungsi kognitif, miskin dalam performan sekolah, dan menurunnya segala aktifitas.(Jean Baker, 2008) (63) Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stres yang sudah berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh). Hal ini mengakibatkan menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung.(61) Faktor risiko stunting sangat kompleks dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Faktor risiko stunting di Indonesia untuk anak kurang dari 1 tahun adalah intra uterine growth retardation(IUGR), berat badan lahir rendah (BBLR), tidak memperoleh ASI, tidak diimunisasi, menderita diare dan ISPA(6,7). Menurut Riskesdas 2010, kejadian stunting pada balita dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan orang tua, umur, jenis kelamin dan tempat tinggal(2). Faktor-faktor stunting pada balita adalah defisiensi yodium, defisiensi seng, zat besi, vitamin A, tingkat pendidikan orang tua rendah, ayah perokok berat (8-13). Faktor risiko stunting di luar negeri tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Pada balita antara lain ; BBLR, tidak mendapat ASI eksklusif, usia 1-2 tahun, tingkat pendidikan orang tua rendah, stutus sosial ekonomi rendah, dan ibu pendek (15-17). Faktor risiko stunting yang lain adalah defisiensi zink pada ASI, sanitasi buruk, dan adanya parasit dalam saluran gastrointestinal.(18,19). Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan, kematian, perkembangan motorik terlambat, dan terhambatnya pertumbuhan mental (61). Stunting menunjukan bahwa potensi genitik dalam pertumbuhan linier seseorang tidak tercapai optimal. Stunting juga memberikan efek negatif pada banyak aspek kehidupan yang lain. Org yang tubuh pendek akan sedikit pilihan utk mendapatkan sekolah dan pekerjaan karena ada beberapa pekerjaan yang mengsyaratkan tinggi badan tertentu. Misalnya sebagai model, pramugara/pramugari, mengsyaratkan tinggi badan minimal yang harus dimiliki. Selain itu memiliki tubuh pendek biasanya memiliki rasa kurang percaya diri yang akan mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Wanita yang bertubuh sangat pendek cenderung memiliki ukuran panggul yg sempit sehingga berisiko untuk melakukan persalinan normal. Beberapa penelitian membuktikan bahwa stunting berhubungan dengan kecerdasan yg rendah pada anak keterlampatan perkembangan psikomotor(20-23). Stunting juga berhubungan dengan overweight dan obesitas sehingga pada usia dewasa mereka yang mengalami stunting dan mengkonsumsi makanan berlebihan berisiko terkena penyakit jantung koroner, hipertensi dan penyakit yang terkait dengan hipertensi, DM tipe2 dan sindrom resistensi insulin(24). Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya stunting atau underweight (nilai skor Z<-2) , pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun) namun mempunyai konsekuensi yang serius kemudian. Seorang anak laki-laki yang stunting kelak akan menjadi orang dewasa yang stunted juga, dengan segala akibatnya antara lain produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi, sedangkan seorang anak perempuan yang mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa yang stunting, yang apabila kelak ia hamil akan lahir seorang bayi BBLR (bayi berat lahir rendah).(62) Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, kita masih harus bekerja keras mengatasi stunting, karena batas non public health yang ditetapkan WHO, 2005 adalah 20%, sedangkan saat ini prevalensi balita stunting di seluruh propinsi masih di atas 20%. Artinya semua propinsi masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Penurunan jumlah balita stunting utamanya dilakukan melalui pencegahan lahirnya balita stunting baru, karena apabila masalah pertumbuhan sudah melewati periode kritis pertumbuhan (2 tahun) maka balita yang mengalami gangguan gizi akan sulit untuk mengejar pertumbuhan potensialnya. Mengingat masalah gizi, baik yang bersifat akut, kronis maupun akut-kronis berkaitan dengan masalah sosial-ekonomi keluarga, maka sudah harus sejak dini dilakukan dengan meningkatan pelayanan kesehatan dan gizi ibu hamil, sampai pemberian ASI ekslusif pada bayi umur 0-6 bulan, edukasi gizi untuk meningkatkan kesadaran gizi bagi keluarga, upaya perbaikan ekonomi keluarga, dan perubahan perilaku penduduk melalui terkoordinasi serta terintegrasi secara baik secara lintas-program maupun lintas-sektor terkait. Upaya pencegahan dan pengobatan malnutrisi harus didasarkan pada faktor risikonya. Riskesdas 2010. A. Tujuan a. Mengetahui terjadinya stunting b. Mengetahui faktor risiko stunting. c. Mengetahui pencegahan stunting. B. Perumusan Masalah Mengapa stunting dapat terjadi di Indonesia dan di Dunia? BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi stunting Stunting adalah perawakan pendek karena terhambatnya pertumbuhan akibat malnutrisi yang lama atau kronis. Stunting pada usia balita biasanya kurang disadari karena perbedaan dengan anak yang tinggi badannya normal tidak terlalu tampak. Stunting biasanya baru disadari setelah anak masuki usia pubertas atau remaja.(1) Pertumbuhan adalah suatu proses dimana sel mengalami peningkatan dalam jumlah, ukuran, kapasitas fungsional, pematangan, pembesaran dan diferensiasi organ serta sistem individu dgn tujuan untuk mencapai ukuran somatik maksimal dan fungsi obtimal sesuai dengan potensi genitik atau intrinsik pada setiap individu dan spesies. Pertumbuhan dimulah segera setelah terjadi konsepsi dan terus berlangsung dengan keceptan yang bervariasi pada masa kehamilan, bayi, anak, remaja dan dewasa. Pertumbuhan janin dalam kandungan merupakan pertumbuhan yang paling cepat selama kehidupan. Pada usia 1 sampai 2 tahun kecepatan pertumbuhan mulai menurun. Laju pertumbuhan mulai stabil atau sedikit lambat pada usia anak-anak sampai menjelang remaja.(27). Pada masa pubertas, laju pertumbuhan kembali menjadi lebih cepat hingga mencapai puncaknya dan kemudian menjadi stabil sampai dewasa(28). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor internal seperti genetik dan hormon, dan faktor eksternal yaitu gizi dan lingkungan(29). Setiap individu mempunyi laju pertumbuhan yang berbeda, tergantung dari berbagai faktor tersebut. Adanya gangguan atau kelainan pada berbagai faktor di atas akan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan yg disebabkan oleh faktor internal lebih sulit diobati dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh faktor eksternal. Misalnya gangguan pertumbuhan sindrom thurner yang merupakan kelainan genitik lebih sulit diatasi dibandingkan dengan gangguan pertumbuhan yang disebabkan kurang gizi atau malnutrisi (3). Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai macam cara, antara lain dengan berat badan per umur, tinggi badan per umur, berat badan per tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lain sebagainya. World Health Organization (WHO) telah membuat suatu standar untuk menilain pertumbuhan, apakah kurang, normal, atau lebih. Seseorang dengan laju pertumbuhan optimal atau normal grafiknya akan berbeda di antara -2 sampai dengan +2 standar deviasi(SD). Stunting adalah suatu kondisi dimana tinggi badan atau panjang badan berada dibawah tinggi badan atau panjang badan normal yg sesuai dengan tingkat usianya (di bawah -2 SD standar WHO). (3). B. Fartor risiko stunting Stunting disebabkan oleh banyak faktor yang bisa terjadi sejak janin masih berada di dalam kandungan. Menurut epidemiologic triad atau teori epidemiologi klasik, terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu agen, host (pejamu), dan Lingkungan (26) 1. Agen Agen adalah substansi atau tenaga yang kekurangan atau kelebihannya merupakan hal yang esensial untuk terjadinya penyakit. Yang termasuk didalam agen adalah organisme hidup, bahan kimia, genetic traits, faktor psikologi, nutrisi, trauma fisik, dan gaya hidup. Faktor genetic traits yang mempengaruhi stunting pada anak adalah tinggi badan ibu dan tinggi badan ayah. Faktor psikologi yang mempengaruhi stunting adalah umur ibu pada waktu hamil dan jarak dengan kelahiran sebelumnya. Sedangkan faktor nutrisi yang mempengaruhi stunting pada anak adalah ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI.(15,18) 1.1. Genitic traits Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak seperti kerdil. (Depkes, 2007). Gen-gen pada org tua sebagian diwariskan pada anak-anaknya, demikian juga dengan gen-gen yang menentukan tinggi badan seseorang. Gen ini bekerja dengan cara mempengaruhi sistem hormon dan metabolisme. Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh tinggi badan kedua orang tuanya.(30,31) 1.2 Usia ibu pada waktu hamil Ibu dengan usia matang pada waktu hamil cenderung memiliki pengetahuan dan perilaku yang lebih baik tentang cara menjaga kehamilan dan merawat anaknya dibandingkan dengan ibu hamil dalam usia yang terlalu muda atau terlalu tua pada waktu hamil juga kurang baik karena secara anatomi fisiknya sudah menurun sehingga dapat mempengaruhi kemampuannya dalam menjaga kehamilan dan merawat anak serta berisiko terhadap komplikasi kehamilan. Ibu yang terlalu muda pada waktu hamil juga berisiko karena pada usia <18thn bentuk anatomi panggul belum sempurna untuk persalinan. Secara psikologis, ibu yang hamil terlalu muda juga belum siap dalam menghadapi kehamilan dan merawat anak. Hal ini dapat menyebabkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak 15,32. 1.3 Jarak kelahiran Melahirkan dengan Jarak kurang dari 2 tahun merupakan faktor risiko stuntang. Hal ini disebabkan anak tidak bisa mendapatkan ASI sampai 2 tahun, karena ASI pasti akan diberikan untuk adiknya. Selain itu ibu mempunyai anak2 dgn perbedaan umur yg terlalu dekan biasanya perhatian terhadap anak menjadi tdk fokus sehingga gizi yg dibutuhkan anak untk tumbuh tidak dpat terpenuhi(33,34) 1.4 Riwayat Pemberian ASI ASI mengandung zat gizi dan kekebalan tubuh lengkap yg sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak. Pemberian ASI kurang dari 6 bulan atau pemberian makan tambahan sebelum bayi berusia 6 bln dapat menyebabkan bayi mengalami kekurangan gizi. Dewasa ini lebih banyak ibu-ibu memberikan susu formula kepada bayinya walaupun secara kuantitas susu formula dapat memenuhi kebutuhan energi bayi namun secara kualitas susu formula tidak sebaik ASI. Beberapa penelitian juga telah membuktikan hal ini, salah satu penelitian di filipina oleh ferreira HS. Dkk yang membuktikan bahwa pemberian ASI kurang dari 6 bulan merupakan faktor risiko stunting (15).. 1.5 Riwayat makanan Pendampin ASI (MP ASI) Usi 0-2 tahun merupakan masa pertumbuhan yang paling cepat bagi seorang anak. Oleh karena itu pada usia ini diperlukan makanan dalam jumlah yang banyak dan mengandung zat gizi yang lengkap. Selain itu usia 6 bulan , ASI saja tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan, sehingga harus diberikan makanan pendamping ASI. Pertumbuhan akan baik bila makanan pendamping ASI juga baik, sebaliknya pertumbuhan akan terganggu jiga MP ASInya buruk. Makanan pendamping ASI pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu makanan pokok (misalnya nasi, jagung, ubi-ubian), makanan sumber protein(misalnya daging,telur,ikan), makanan sumber vitamin dan miniral (misalnya sayur dan buah) dan suplemen energi (misalnya gula, minyak, mentega) 35. Hasil penelitian Lita D, dkk di Bogor, mengatakan Konsumsi MP-ASI lebih dominan mempengaruhi kecukupan energi dan zat gizi anak usia 6-12 bulan dibandingkan dengan konsumsi ASI sehingga konsumsi MP-AS1 yang rendah merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya asupan energi dan zat gizi serta dapat menyebabkan terjadinya kejadian stunting.(72) 2 Penjamu (Host) Host (penjamu) adalah faktor dari manusia itu sendiri yang membantu terjadinya penyakit. Hal-hal yang perlu diketahui tentang penjamu adalah jenis kelamin, daya tahan tubuh, perilaku, dan sifat biologik. 2.1 Jenis Kelamin Bebarapa penelitian menjelaskan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kejadian stunting, Stunting lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki-laki cenderung lebih mudah sakit dibandingkan anak perempuan. Anak sakit membutuhkan gizi lebih banyak karena pada kondisi sakit terjadi peningkatan metabolisme. Apabila zat gizi yang dibutuhkan tidak terpenuhi akan timbul malnutrisi yang dalam jangka panjang menyebabkan stunting.15,36 2.2 Kelainan Kongenital Kelainan kongenital adalah kelainan yang dimiliki seseorang sejak lahir. Kelainan kongenital sering disebabkan karena adanya penyakit yang diderita ibu pada saat hamil dapat menurunkan status gizi ibu, sehingga akan dapat menurunkan status gizi bayi yang dikandungnya. Malnutrisi dan penyakit yang diderita ibu pada masa hamil seperti diabetes gestasional, hipertensi, anemia dapat menyebabkan Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan berat badan lahir bayi rendah(BBLR). Selain itu malnutrisi dan penyakit kehamilan dapat mengganggu proses produksi ASI sehingga kualitas dan kuantitas ASI akan menurun. Penyakit akibatinfeksi oleh bakteri maupun virus seperti TORCH (toxoplasma, others, rubella, citomegalovirus dan herpes simpleks) dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital pada anak dengan salah satu tandanya adalah perawakan pendek (stunting). Salah satu contoh kelainan kongenital adalah anak-anak dengan displasia tulang(misalnya akondroplasia) yang dapat terlihat langsung setelah lahir. Namun terkadang baru terlihat pada tahun ke-2 atau pada masa kanak-kanak (misalnya hypochondroplasia, dyschondrosteosis); dysmorphic syndromes). Perilaku ibu pada saat hamil juga dapat menyebabkan stunting. Ibu hamil yang sering mengkonsumsi alkohol dan merokok selain dapat menimbulkan kelainan pada janin yang dikandungnya akan menurun produksi ASInya.(37,38,39) Contoh kelainan kongenital lain akibat infeksi prenatal dan malformasi teratogenik adalah congenital rubella syndrome, fetal hydantoin syndrome, dan fetal alcohol syndrome.5,28 2.3 Riwayat penyakit infeksi Penyakit dapat menyebabkan stunting karena zat-zat gizi yang masuk kedalam tubuh tidak dapat digunakan secara maksimal untuk pertembuhan karena lebih banyak digunakan untuk membentuk zat-zat atau sel-sel untuk melawan penyakit. Penyakit infeksi kronik yang sering diderita anak-anak yang bisa menghambat pertumbuhan antara lain tubercolusis, infeksi saluran pencernaan, diare, asma, cacingan, dan sebagainya. Hal ini didukung oleh banyak penelitian antara lain penelitian di Colombia oleh heckett Michelle yang membuktikan bahwa diare, infeksi pernafasan, dan investasi parasit merupakan faktor risiko stunting.40 Sebuah penelitian di Nigeria oleh Cin Nj membuktikan bahwa penyakit pankreatitis kronis dan diabetes melitus pada anak merupakan faktor risiko stunting.(41) 2.4 Riwayat malnutrisi Malnutrisi sejak dalam kandung akan mmenyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR) sedangkan malnutrisi setelah anak lahir menyebabkan berat badan kurang (underweight). Defisiensi zat gizi baik makronutrien merupakan faktor yang paling sering menyebabkan stunting. Stunting merupakan akibat dari malnutrisi yang kronis yang biasanya tidak disadari. Zat gizi yang penting untuk tinggi badan antara lain protein, zink, iodium. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa malnutrisi merupakan faktor risiko stunting. 7,42,43,44 contoh defisiensi zenk berperan di dalam bekerjanya lebih dari 10 macam enzim. Berperan di dalam sintesa Dinukleosida Adenosin (DNA) dan Ribonukleosida Adenosin (RNA), dan protein. Maka bila terjadi defisiensi zinc dapat menghambat pembelahan sel, pertumbuhan dan perbaikan jaringan, hal ini dapat menyebabkan stunting ( 65)(Shanker dan Prasad, 1998). 2.5 Riwayat Imunisasi Status imunisasi dan status gizi memiliki hubungan timbal balik. Daya tahan tubuh seorang anak ditentukan dari status gizi dan riwayat imunisasinya. Imunisasi penting untuk mencegah timbulnya berbagai macam penyakit pada anak. Jenis imunisasi yang berhubungan dengan stunting adalah imunisasi yang terutama bertujuan untuk mencegah penyakit infeksi kronis seperti imunisasi BCG karena dapat mencegah penyakit TBC. Imunisasi DPT dan campak dapat mencegah penyakit diphteri, pertusis, dan campak. Walaupun program imunisasi dasar lengkap telah dilaksanakan di Indonesia sejak lama namun cakupan imunisasi lengkap di seluruh wilayah di Indonesia masih banyak yang belum mencapai 100%. Menurut data 2010 3 Lingkungan Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan nonfisik. Lingkungan fisik seperti biologis, kedaan geografis, kelembaban udara, temperatur, lingkungan tempat tinggal sedangkan lingkungan nonfisik seperti, sosial, budaya, ekonomi, politik. Dapat menyebabkan terjadinya stunting. Faktor lingkungan juga dapat digolongkan menjadi lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Lingkungan keluarga terutama dipengaruhi oleh orang tua seperti perilaku orang tua, tingkat pendidikan orang tua, dan status ekonomi keluarga. Lingkungan masyarakat contohnya adalah pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat, dan lingkungan negara adalah kondisi sosial, ekonomi, politik, dan sumberdaya yang dimiliki negara. 3.1 Lingkungan keluarga 3.1.1 Tingkat pendidikan Ibu Tingkat pendidikan, sikap dan perilaku ibu dalam merawat dirinya dan anaknya. Ibu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang cara menjaga kehamilan dan merawat anak dibandingkan ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Perilaku dan status gizi ibu sejak hamil sampai menyusui menentukan pertumbuhan anak akan normal atau tidak. Status gizi ibu merupakan faktor yang sangat penting dalam petumbuhan anak. Status gizi ibu sebelum hamil , pada saat hamil, maupun setelah melahirkan (pada waktu menyusui) ikut menentukan apakah anak akan tumbuh normal atau tidak. Ibu yang mengalami malnutrisi sebelum maupun pada saat hamil cenderung membuat janin mengalami malnutrisi pula.(5) Perilaku dan status gizi ibu setelah melahirkan juga mempengaruhi pertumbuhan bayi. Malnutrisi atau penyakit akibat defisiensi zat gizi yang diderita ibu menyusui akan menurunkan kuantitas maupun kualitas ASInya. Selain itu ibu yang mengalami defisiensi zat gizi pasti akan lebih sering sakit dibandingkan ibu yang tidak mengalami defisiensi zat gizi. Ibu yang sering sakit cenderung akan menurunkan kemampuan dalam merawat anaknya termasuk dalam memenuhi kebutuhan zat gizi anak. Selain itu, penyakit yang diderita ibu dapat menular ke anak. Anak yang sering sakit lama-lama akan terganggu pertumbuhannya(13). 3.1.2 Ayah Peran ayah sebagai kepala keluarga ikut mempengaruhi status gizi anak-anaknya karena ayah merupakan pencari nafkah utama dan pembuat keputusan dalam keluarga. Usia dan tingkat pendidikan ayah mempengaruhi perilaku ayah dalam membina keluarganya. Ayah dengan usia matang atau tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membina keluarga yang baik sekaligus menjaga kesehatan seluruh anggota keluarganya. Ayah dengan usia matang dan tingkat pendidikan yang cukup tinggi biasanya sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap sehingga mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Perilaku buruk seorang ayah seperti peminum alkohol dan perokok berat juga dapat mempengaruhi status gizi seorang anak. Ayah perokok membelanjakan sebagian penghasilannya untuk memberi rokok sehingga akan mengurangi anggaran untuk membeli makanan. Selain itu, banyaknya asap rokok di dalam rumah akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit pernafasan terutama pada anak. Best CM dkk membuktikan bahwa ayah perokok berhubungan dengan kejadian malnutrisi pada anak dalam keluarganya. (13) 3.1.3 Status ekonomi keluarga. Kejadian malnutrisi pada anak sangat dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi keluarga yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi anak tidak dapat terpenuhi sehingga timbullah malnutrisi. (12,15,16). 3.2. Lingkungan Masyarakat Keterbatasan sarana pelayanan kesehatan dan sulit untuk dijangkau juga mempengaruhi kejadian stunting. Anak sakit tidak kunjung sembuh disebabkan tidak mendapat pelayanan kesehatan yang baik dapat mengalami gangguan pertumbuhan. Sarana kesehatan yang baik harus dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya terjangkau dalam hal biaya, namun juga terjangkau lokasinya. Pelayanan kesehatan juga mempengaruhi status gizi anak. Kecukupan gizi masyarakat sangat penting untuk mencegah timbulnya berbagai persoalan kesehatan pada anak. Walaupun program GAKY telah dilaksanakan di Indonesia masih banyak anak yang mengalami permasalahan gizi salah satunya stunting. Sasaran pembangunan pangan dan gizi Nasional pada tahun 2015 yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang balita menjadi 15,5% dan prevalensi balita pendek menjadi 32%, artinya sampai tahun 2015 kita masih harus menurunkan 3,6%. Walaupun secara nasional belum mencapai target prevalensi balita pendek, namun sudah ada 11 propinsi yang sudah berhasil mencapai target yaitu Jambi (30,2%), Bangka Belitung (29,0%), Bengkulu (31,6%), Kepulauan Riau (26,9%), DKI Jakarta (26,6%), DI. Yogyakarta (22,5%), Bali (29,3%), Kalimantan Timur (29,1%), Sulawesi Utara (27,8%), Maluku Utara (29,4%) dan Papua (28,3%). Riskesdas, 2010 3.3. Lingkungan negara Kondisi sosial, ekonomi, politik dan sumberdaya suatu negara dapat mempengaruhi kejadian stunting karena baik buruknya kondisi tersebut akan mempengaruhi ketahanan pangan dan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat rendah menyebabkan kebutuhan zat gizi yang baik tidak dapat terpenuhi sehingga timbul malnutrisi. Malnutrisi yang lama akan menyebabkan stunting. (11,14,15) Sebagai contoh adalah negara brazil yang telah berhasil menurunkan prevalensi stunting dari 37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1%pada tahun 2007. Hal ini terjadi karena negara Brazil meningkatkan daya beli masyarakat miskin, kemudian memperoleh pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan dan perbaikan sanitasi. 51). C. Diagnosis Stunting Ada berbagai referensi atau rujukan yang dibuat untuk menentukan apakah seseorang termasuk pendek atau tidak, antara lain standar dari Center of Disease Control(CDC),National Center for ini Health Statistic(NCHS), dan World Health Organization(WHO), rujukan tersebut umumnya dibuat berdasarkan hasil perhitungan statistik. Referensi atau rujukan terbaru yang direkomendasikan untuk menilai pertumbuhan adalah referensi WHO tahun 2005 karena dinilai inilah yang terbaik dibandingkan dengan yang lain. Rujukan ini dibuat dengan dengan menggunakan sampel anak-anak di diberbagai negara dan berbagai macam ras serta mendpatkan ASI eksklusif. Oleh karena itu dengan menggunakan rujukan ini akan lebih banyak dijumpai gizi kurang dan gizi buruk dibandingkan bila menggunakan rujukan yang lain. Diagnosis stunting ditegakkan apabila nilai Z skor untuk tinggi badan terhadap umur berada dibawah -2 standar deviasi WHO 2005 (45). D. Dampak Stunting terhadap kesehatan Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan antara malnutrisi yang terjadi sejak dalam kandungan atau sejak usia dini dengan terjadinya penyakit atau gangguan metabolisme tubuh pada masa dewasa. Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya stunting atau underweight (nilai skor Z<-2) , pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun) namun mempunyai konsekuensi yang serius kemudian. Seorang anak laki-laki yang stunting kelak akan menjadi orang dewasa yang stunted juga, dengan segala akibatnya antara lain produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi, sedangkan seorang anak perempuan yang mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa yang stunting, yang apabila kelak ia hamil akan lahir seorang bayi BBLR (bayi berat lahir rendah).(62) Barker dalam th “early oroginis” hypothesis menyatakan bahwa kurang gizi yang terjadi pada awal kehidupan mempunyai peran yang penting terhadap timbulnya penyakit metabolisme pada usia dewasa. Hal ini disebabkan karena kekurangan gizi pada awal kehidupan membuat tubuh berusaha menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan kondisi tersebut sehingga tubuh akan hemat dalam penggunaan energi. Oleh karena energi yang diperlukan untuk aktifitas sel lebih sedikit, sehingga cadangan energi akan lebih banyak. Lama kelamaan cadangan energi dalam jumlah besar akan menyebabkan terjadinya obesitas yang merupakan faktor risiko penyakit metabolisme (24). Penelitian yang dilakukan oleh Reynaldo Martorell dkk di Guatemala, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa berat badan lahir , panjang badan pada 15 hari, dan panjang badan pada usia 2 thn berhubungan positif dengan berat badan, panjang badan, dan massa lemak bebas pada dewasa. Namun, hubungan antara kurang gizi pada awal kehidupan dengan kejadian obesitas pada dewasa masih banyak diperdebatkan.(46) Retardasi pertumbuhan yang terjadi pada usia dini berhubungan dengan peningkatan risiko morbilitas dan mortilitas, penurunan kecerdasan yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan kapasitas kerja, dan gangguan reproduksi.47) Martorell dkk juga meneliti hubungan antara pertumbuhan panjang badan pada tahun pertama dengan usia dimana anak mampu berjalan sendiri untuk pertama kalinya. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa anak-anak yang pertumbuhan panjang badannya baik akan berjalan lebih cepat dibandingkan anak yang pertumbuhan panjang badannya lambat. Sebagai contoh anak yang skor HAZ (Heigh for Age Z score) bertambah satu pada tahun pertama akan berjalan 0,6 bulan lebih cepat dibandingkan anak yang skor HAZnya tetap.48) E. Pengendalian dan Pengobatan Stunting Stunting merupakan suatu kondisi kurang gizi yang kronis. Stunting harus dicegah dan diobati sedini mungkin karena pertumbuhan akan berhenti pada batas usia tertentu. Semakin dini diatasi maka catch up growth semakin mudah tercapai. Stunting yang sudah menetap sampai usia dewasa tidak dapat lagi diatasi dengan pengobatan apapun. Hal ini dikarenakan pada orang dewasa lempeng epifisis sudah menutup sehingga perumbuhan tulang tidak terjadi lagi. Pengobatan stunting pada usia dini dapat dilakukan dengan memberikan zat gizi yang diperlukan berupa makronutrien yaitu karbohidrat, protein, lemak, dan mikro nutrien seperti besi, Iodium, vitamin A, dan zinc. Zat-zat gizi tersebut dapat mengobati stunting karena dapat pemberikan zat-zat tersebut akan meningkatkan nafsu makan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa cara ini efektif untuk mengatasi stunting.11,49) menurut Golden ada dua tipe zat gizi yang penting untuk mengatasi malnutrisi. Zat gizi tipe 1 disebut juga zat gizi protektif dan zat gizi tipe 2 disebut juga zat gizi pertumbuhan. Zat gizi yang dapat mengobati stunting adalah zat gizi tipe 2 antara lain protein, sulfur, kalium, dan magnesium.50). Pencegahan stunting dapat dilakukan pada tahap prenatal (sejak dalam kandungan) dan postnatal. Pada tahap pranatal sasarannya adalah ibu hamil. Ibu yang sedang mengandung harus dicukupi kebutuhan gizinya secara lengkap. Hal ini dapat dilakukan apabila ibu hamil rajin memeriksakan kandungannya sehingga setiap kondisi yang diperkirakan dapat berisiko terhadap pertumbuhan janin segera diketahui dan diatasi. Pencegahan postnatal dilakukan dengan memantau pertumbuhan (berat badan dan panjang badan) serta perkembangan bayi secara rutin. Sebenarnya posyandu sudah memiliki fasilitas yang baik untuk memantau pertumbuhan bayi. Namun sayang, sering kali fasilitas ini tidak digunakan karena keterbatasan tenaga kader atau tenaga kesehatan dari puskesmas.24). Pemerintah mempunyai peranan sangat penting dalam penanggulangan stunting. Karena kondisi perekonomian suatu negara berhubungan dengan prevalensi malnutrisi di negara tersebut. Perbaikan atau peningkatan kondisi sosial ekonomi suatu negara terbukti dapat menurunkan angka malnutrisi. Sebagai contoh adalah negara brazil yang telah berhasil menurunkan prevalensi stunting dari 37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1%pada tahun 2007. Hal ini terjadi karena negara Brazil meningkatkan daya beli masyarakat miskin, kemudian memperoleh pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan dan perbaikan sanitasi. 51). BAB III PEMBAHASAN Stunting adalah perawakan pendek yang timbul akibat malnutrisi yang lama. Stunting pada usia balita biasanya kurang disadari karena perbedaan dengan anak yang tinggi badannya normal tidak terlalu tampak. Stunting biasanya baru disadari setelah anak masuki usia pubertas atau remaja. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor internal seperti genetik dan hormon, dan faktor eksternal yaitu gizi dan lingkungan(29). Berbagai penelitian membuktikan bahwa stunting dapat menyebabkan peningkatan risiko morbilitas dan mortilitas, penurunan kecerdasan, dan anak mengalami obesitas pada masa dewasa. Seorang anak laki-laki yang stunting kelak akan menjadi orang dewasa yang stunting juga, dengan segala akibatnya antara lain produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi, sedangkan seorang anak perempuan yang mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa yang stunting, yang apabila kelak ia hamil akan lahir seorang bayi BBLR (bayi berat lahir rendah). (62) Dikatakan stunting apabila nilai Z skor untuk tinggi badan terhadap umur berada dibawah -2 standar deviasi WHO 2005. Stunting masih menjadi masalah bagi Indonesia karena menurut laporan WHO 2010, Indonesia merupakan negara urutan kelima di dunia dengan balita stunting 7,8 juta pada tahun 2010. Pemerintah mengakui bahwa mengatasi gizi buruk pada anak sangat penting untuk memajukan Indonesia sebagai sebuah negara. Tanpa nutrisi yang baik, kualitas sumber daya manusia bermasalah. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan target penting dan tindakan akan nutrisi, termasuk pengurangan stunting, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, dan pencapaian tujuan-tujuan ini memerlukan komitmen yang kuat dan kolaborasi di semua sektor. Stunting disebabkan oleh banyak faktor risiko sejak janin masih berada di dalam kandungan. Menurut epidemiologic triad atau teori epidemiologi klasik, terjadinya stunting dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor age meliputi genetic traits, usia ibu pada waktu hamil, jarak kelahiran, riwayat pemberian ASI, dan riwayat makanan pendampin ASI (MP ASI). Faktor host (penjamu) yaitu jenis kelamin, daya tahan tubuh, perilaku, dan sifat biologik (riwayat penyakit infeksi, malnutrisi dan imunisasi) dan fakor lingkungan adalah lingkungan keluarga terutama dipengaruhi oleh orang tua (tingkat pendidikan ibu, perilaku ayah, status ekonomi keluarga), lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Berikut ini berbagai fakta kejadian stunting yang dapat meningkatkan kesadaran akan ancaman stunting bagi genarasi yang akan datang. Berdasarkan kajian ada fakta bahwa :  Hasil survei yang sama menunjukkan tingginya stunting yaitu 37 % pada balita. Ini berarti bahwa satu dari setiap tiga anak dalam kelompok usia balita lebih pendek dari ketinggian standar untuk usia mereka.  Prevalensi stunting berat pada balita sebesar 18,5%, prevalensi stunting kelompok anak 6-12 tahun sebanyak 35,8%, dan prevalensi stunting pada kelompok umur 16-18 tahun sebanyak 31,2%.  Untuk prevalensi pendek pada balita masih ada 15 provinsi yang memiliki prevalesi diatas prevalensi nasional.  Menurut WHO 2010, Indosesia merupakan uratan kelima di dunia dengan jumlah stunting sebanyak 7,6 juta balita.  Menurut analisis Jean Baker pada tahun 2001 bahwa perkembangan stunting mempengaruhi 182 juta anak balita, dimana angka tertinggi ditemukan di Asia Selatan. Dari berbagai faktor risiko stunting baik di Indonesia maupun di dunia, sangat dimungkinkan stunting dapat terjadi pada balita diseluruh dunia dengan berbagai faktor risiko terutama pada negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan tingkat penduduk miskin yang masih relatip tinggi. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Stunting adalah perawakan pendek yang timbul akibat malnutrisi yang lama. Stunting pada usia balita biasanya kurang disadari karena perbedaan dengan anak yang tinggi badannya normal tidak terlalu tampak. Stunting biasanya baru disadari setelah anak masuki usia pubertas atau remaja. Stunting dapat menyebabkan peningkatan risiko morbilitas dan mortilitas, penurunan kecerdasan, obesitas, produksi kerja laki-laki menurun dan perempuan melahirkan bayi BBLR saat menjadi dewasa. Dikatakan stunting apabila nilai Z skor untuk tinggi badan terhadap umur berada dibawah -2 standar deviasi WHO 2005. Stunting disebabkan oleh banyak faktor risiko sejak janin masih berada di dalam kandungan antara lain faktor agen meliputi genetic traits, usia ibu pada waktu hamil, jarak kelahiran, riwayat pemberian ASI, dan riwayat makanan pendampin ASI (MP ASI). Faktor host (penjamu) yaitu jenis kelamin, daya tahan tubuh, perilaku, dan sifat biologik (riwayat penyakit infeksi, malnutrisi dan imunisasi) dan fakor lingkungan adalah lingkungan keluarga terutama dipengaruhi oleh orang tua (tingkat pendidikan ibu, perilaku ayah, status ekonomi keluarga), lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Upaya pencegahan dan pengobatan stunting harus didasarkan pada faktor risikonya. B. Saran  Stunting harus dicegah sedini mungkin dengan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil sejak kehamilan 3 bulan berupa ANC berupa gizi ibu hamil, imunisas TT, pemberian kapsul Fe dan pemerinksaan kehamilan secara teratur.  Bayi harus diberikan ASI sampai umur 6 bulan.  Setelah 6 bulan bayi harus diberikan makan pendamping ASI (M-ASI)  Anak harus dibawa ke posyandu secara rutin untuk mendapat pelayanan secara lengkap.  Bagi balita stunting harus segera diberikan pelayanan kesehatan.  Upaya memperbaiki gizi keluarga dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait.

2 komentar:

  1. Coin Casino Review | Deposit bonuses | Games - Casinowed
    Are you wondering what coin casino bonuses have, how they work, how you can claim them and how 인카지노 they septcasino work? Find worrione out.

    BalasHapus
  2. MGM Grand Casino - Biloxi Hotels - JTM Hub
    Located 경상북도 출장안마 within a 공주 출장샵 10-minute drive of MGM Grand Casino 서울특별 출장마사지 Biloxi, 당진 출장마사지 guests are met with the grand casino, including a complimentary complimentary 경주 출장안마 $50 complimentary room upgrade.

    BalasHapus